chatwithamelia.xyz - Malam nanti, bentrok antara Liverpool dengan AS Roma di pertandingan leg pertama semifinal Liga Champions bakal jadi ajang pembuktian. Laga ini akan menjadi pertemuan keenam dalam sejarah pertemuan keduanya atau bisa juga disebut laga keempat di liga Champions Eropa yang sebelumnya bernama Piala Champions. Merujuk riwayat pertemuan, kedua tim memperlihatkan kualitas yang hampir berimbang di mana Liverpool menang dua kali atas AS Roma serta menelan sekali kekalahan dengan dua laga berakhir dengan hasil imbang.
Melihat bentrok keduanya nanti malam, kurang elok rasanya jika tak menengok pertemuan bersejarah keduanya untuk pertama kalinya. Final Piala Champions Eropa 1984 menjadi pertemuan pertama Liverpool dan AS Roma di kejuaraan antar klub Eropa. Liverpool melaju ke final usai menyingkirkan Dynamo Bucharest (Rumania) aggregate 3-1 di babak semifinal. Sedangkan AS Roma menumbangkan Dundee United (Skotlandia) dengan kemenangan aggregate 3-2. Stadion Olimpico yang juga menjadi markas AS Roma dipilih UEFA sebagai tempat laga final.
Salah satu mantan penggawa AS Roma, Francesco Graziani ingat betul bagaimana atmosfer malam itu yang dipenuhi energi kemenangan. Sebanyak 70 ribu penonton menyemut di seluruh bangku stadion. Sayang, setelah 90 menit yang panjang dengan tambahan babak pinalti yang dramatis, seketika semua mimpi dan euforia kemenangan itu runtuh. AS Roma dipaksa tunduk atas Liverpool dengan skor 2-4. Kegagalan dua eksekutor pinalti AS Roma jadi musababnya dan Graziani merupakan penendang kedua AS Roma yang gagal mengemban tugasnya sebagai eksekutor waktu itu.
Dilansir dari Dailymail, Francesco Graziani mengungkapkan suasana malam itu sangat luar biasa. Di antara peluh dan emosi, semua pemain AS Roma menyimpan asa menggapai kampium juara untuk kali pertama di pentas Eropa. Ia mendapat giliran sebagai penendang pinalti keempat. Tetapi ia gagal menendang eksekusi pinalti.
Ia mengaku kegagalannya kala itu selain lantaran "gangguan" kiper Liverpool Bruce Grobbelaar yang meloncat loncat ketika ia hendak menendang, tekanan penonton dan suasana stadion membuat konsentrasinya buyar saat itu.
Walhasil eksekusi tendangannya melebar mengenai tiang gawang. Kejadian sama juga dialami Bruno Conti yang sebelumnya gagal sebagai eksekutor kedua AS Roma saat itu. Mimpi skuat i Giallorossi untuk menyicip kampium, akhirnya kandas.
"Bisa dibayangkan bagaimana suasana di dalam stadion saat itu. Kami bermain dengan tekanan yang besar dari pendukung sendiri. Belum lagi para fotografer yang berdiri di belakang net gawang. Begitu saya akan menendang, flash kamera mereka merusak konsentrasi saya," ungkap Graziani, Selasa (24/4/2018).
Pada laga tersebut, Liverpool dilatih Joe Fagan yang mengandalkan Bruce Grobbelaar di bawah mistar gawang serta Ian Rush yang difungsikan sebagai striker tunggal didukung oleh Craig Johnston, Graeme Souness, Sammy Lee dan Ronnie Whelan di tengah untuk menjebol gawang Franco Tancredi.
Sementara AS Roma yang dilatih Nils Liedholm mengandalkan dua pemain asal Brazil di lini tengah, Paulo Roberto dan Toninho Cerezo. Keduanya diposisikan untuk mendukung pergerakan duet striker Francesco Graziani dan Roberto Fruzzo serta gelandang legendaris Italia, Bruno Conti guna melayani permainan cepat yang dikembangkan para penggawa Liverpool.
Phil Neal membawa Liverpool unggul 1-0 pada menit 13'. Tetapi tak berapa lama, Roberto Fruzzo mencetak gol penyeimbang di menit 42'. Skor 1-1 bertahan hingga peluit panjang dibunyikan dan terpaksa diakhiri lewat adu pinalti. Eksekusi pinalti sendiri diwarnai kegagalan dari kedua tim, Steve Nicol dari Liverpool dan Bruno Conti serta Graziani dari AS Roma.