chatwithamelia.xyz - Atas nama kepentingan bersama, lalu dibalut dengan semboyan demi jati diri bangsa, elite politik ikut recoki urusan sepak bola. Kondisi ini yang dialami sepak bola Republik Demokrasi Kongo.
Di Kongo atau lebih tepatnya di ibu kota mereka, Kinshasa, elit politik menggunakan olahraga, khususnya sepak bola untuk membangun popularitas dan reputasi demi menjaga kekuasaan.
Sepak bola di negara Afrika Tengah itu memang tertinggal dibanding negara-negara lain, padahal mereka memiliki banyak talenta lapangan hijau.
Menariknya, sama seperti Indonesia saat jadi bangsa terjajah, sepak bola di Kongo digunakan untuk melawan bangsa kolonial. Namun itu semua berubah begitu Joseph Kabila menjadi kepala negara.
Laporan dari Kristof Titeca dan Albert Malukisa Nkuku menjabarkan bagaimana elit politik di pemerintahan Kabila gunakan sepak bola sebagai alat elit politik untuk mencari popularitas.
"Klub-klub sepak bola telah lama menjadi jalan rezim berkuasa untuk membangun modal politik. Banyak politisi melibatkan diri dengan klub untuk mendongkrak citra mereka. Di sisi lain, sepak bola juga menjadi ruang bagi oposisi politik," tulis laporan keduanya seperti dilansir dari The Conversation.
Sejak berkuasa dari 2001 hingga 2019, Joseph Kabila memang menganggap sepak bola sangat penting untuk mempertahankan kekuasaanya.
Sepanjang masa jabatannya, Kabila dan elit politik di sekitarnya serta anggota partai pemerintah sibuk mencari cara untuk mendongkrak popularitass mereka, salah satu caranya ialah ikut campur di sepak bola.
Sejumlah elit politi dan petugas partai ikut nyemplung di klub sepak bola dengan memberikan suntikan finansial. Cara ini di Kongo berhasil karena mayoritas klub di sana tidak memiliki dukungan komersial.
Baca Juga: Soroti Batalnya Indonesia Jadi Tuan Rumah Piala Dunia U-20, Media Malaysia Sebut Negara Penggantinya
Dukungan finansial yang diberikan oleh Kabila dan elit politik pada akhirnya membuat suporter di Kongo terbelah. Banyak kalangan suporter yang kemudian tetap mengapresiasi para politikus ini selama memberikan dukungan finansial untuk klub mereka.
Mereka ini seolah tak peduli misalnya elit yang memberikan mereka dukungan ternyata seorang pelanggar HAM berat, seperti Gabriel Amisi.
Gabriel Amisi adalah salah satu sekutu dekat dari Kabila dan menjabat jendera di Angkatan Darat Kongo. Ia dituduh melanggar HAM selama menjadi komandan pemberontakan. Salah satu media lokal setempat menjulukinya, 'Tukang Daging dari Kongo Timur'
Pada periode 2007 hingga 2020, Amisi menjadi presiden klub AS Vita, salah satu klub terbesar di Kongo. Begitu Amisi masuk ke klub ini, AS Vita yang sempat terpuruk langsung tancap gas dengan meraih tiga gelar.
Para pemain AS Vita mengakui bahwa klub memiliki stabilitas keuangan, gaji mereka dibayarkan tepat waktu dan banyak fasilitas pendukung lainnya.
Nama Amisi pun melambung. Para pendukung AS Vita menjelma jadi die hard bagi tokoh satu ini. Saat gejolak politik melanda Kongo pada 2016, barisan pendukung AS Vita turun ke jalan untuk melindungi aset dan rumah milik Amisi.
Laporan dari Human Rights Watchs menjelaskan bahwa Amisi dan elit politik Kongo lainnya kemudian menggunakan basis suporter ini menyusup ke aksi protes anti rezim Kabila untuk berbuat kerusuhan dan menjarah saat aksi unjuk rasa.
"Dengan cara ini, sepak bola Kongo tidak jauh berbeda dengan sepak bola di tempat lain di dunia. Ini tidak hanya terjadi di Afrika, tetapi juga di negara lain seperti Indonesia dan Malta," ungkap Kristof Titeca dan Albert Malukisa Nkuku.
Menariknya, di Kongo sepak bola tidak hanya dijadikan alat elit untuk mencari popularitas namun juga pada akhirnya jadi senjata untuk massa rakyat menumbangkan kekuasaan rezim.
Selama periode 2015, di sejumlah stadion sepak bola mulai muncul chant anti rezim Kabila. Sejumlah suporter mulai menyanyikan chant berjudul, 'Himne Kaum Tertindas,'
Salah satu lirik dari chant itu yang kerap disuarakan dengan lantang oleh para suporter berbunyi, 'Tuhan melakukan segalanya agar Kabila Mati. Kami menolak menjadi mesin pemungutan suara'
Mendapat perlawan balik dari sepak bola, Kabila kemudian menggunkaan segala cara untuk meredamnya. Salah satunya ialah melarang stasiun radio dan TV untuk menyiarkan chant tersebut.
Akhir 2016, Menpora Kongo memutuskan untuk menghentikan kompetisi secara sepihak. Pemerintah Kongo saat itu beralasann kompetisi dihentikan karena meningkatnya kekerasan di stadion.
Namun di kalangan suporter Kongo, keputusan ini dilakukan pemerintah untuk meredam suara-suara anti Kabila di stadion yang kian hari terdengar nyaring. Hingga saat ini sepak bola Kongo berjalan di tempat.
Secara peringkat FIFA, Kongo memang lebih baik dibanding Indonesia. Namun negara ini tidak pernah jadi tuan rumah kompetisi resmi FIFA. Pun negara ini sulit untuk berprestasi di level regional ataupun internasional.