chatwithamelia.xyz - Nasib tim debutan hingga pekan ke sepuluh Liga 1 musim ini bisa dibilang masih belum begitu mengkilap. Diantara tiga tim yang berhasil promosi, hanya Persebaya Surabaya yang tampil cukup oke.
Skuat Bajul Ijo saat ini bertengger di peringkat ke-10 dengan mengemas 12 poin. Meskipun posisi tersebut bukanlah patokan sebab durasi kompetisi masihlah panjang.
Namun jika melihat di sepanjang awal kompetisi Liga 1 bergulir, PSIS Semarang tampaknya menjadi tim debutan yang tampil jeblok.
Setelah 8 tahun penantian, Laskar Mahesa Jenar akhirnya mentas ke kasta tertinggi sepakbola tanah air. Sayang, satu-satunya wakil Jawa Tengah ini tampaknya urung mampu nyetel dengan panasnya atmosfer di Liga 1. Tercatat mereka baru dua kali menang dari 10 laga yang sudah dilakoni. Bahkan di tiga pertandingan terakhir, gawang PSIS Semarang justru jadi lumbung gol lawan.
Kondisi tersebut membuat peringkat skuat besutan Vincenzo Alberto Annese terus merosot. Saat ini mereka jadi juru kunci klasemen sementara Liga 1.
Kapten PSIS Semarang, Haudi Abdillah mengungkapkan jika faktor internal jadi kendala timnya tak mampu berkembang di awal musim ini. Ia membeberkan jika para pemain masih demam panggung.
Disamping mental, penampilan PSIS Semarang juga dianggap inkonsistensi. Kondisi ini terlihat dari penampilan penyerang andalan mereka Burno Silva. Sempat tampil apik kala menundukkan Persela Lamongan di pekan ketujuh Liga 1, kini pemain berkepala pelontos tersebut justru melempem.
Sumber foto: @psisfcofficial/Instagram
Merujuk dari riwayatnya, bisa dibilang tim yang tersohor dengan julukan Si Jago Becek ini sebetulnya bukan tim kemarin sore di kasta tertinggi sepakbola Indonesia.
PSIS tercatat sebagai salah satu kesebelasan legendaris era perserikatan. Mereka pernah merasakan gelar juara Liga Indonesia musim 1999.
Sumber foto: Skuat PSIS Tahun 1999 (@psis_semarang/Twitter)
Banyak yang menyebut jika itu merupakan musim terbaik PSIS selama mentas di kompetisi utama Indonesia. Meski dengan modal cekak dan materi pemain medioker skuat asuhan besutan Edy Paryono kala itu berhasil membuktikan diri sebagai yang layak juara usai menang 1-0 atas persebaya Surabaya di final.
Musim 2005 bisa dibilang merupakan masa keemasan periode kedua bagi PSIS Semarang. Hadirnya materi pemain yang berkelas membuat tim Ibukota Jawa Tengah ini memiliki kans besar untuk merengkuh kembali kampium Liga Indonesia.
Sebut saja nama Emanuel De Porras yang pada musim sebelumnya tercatat sebagai juru gedor utama Persija Jakarta. Kehadiran De Porras membuat lini serang PSIS lebih bertaji. Sebanyak 13 gol berhasil dicetak pemain asal Argentina itu di musim pertamanya bersama Laskar Mahesa Jenar.
Sumber foto: Emanuel De Porras skuat PSIS Semarang musim 2005 (@ForzaPSIS/Twitter)
Performanya yang apik pun ikut mengerek prestasi PSIS Semarang yang berhasil menduduki posisi tiga besar di klasemen akhir Wilayah Barat. Pencapaian tersebut membuat PSIS yang kala itu ditukangi oleh Bambang Nurdiansyah berhak melaju ke babak delapan besar.
Sayang misi melaju ke final gagal dicapai PSIS setelah mereka hanya menempati posisi dua di klasemen akhir Grup Barat delapan besar Liga Indonesia. PSIS Semarang kemudian harus puas menempati posisi tiga di akhir kompetisi setelah mengalahkan PSMS Medan dalam laga perebutan tempat ketiga.
Pada musim berikutnya, posisi Bambang Nurdiansyah diganti Sutan Harhara. Meski tak banyak perombakan yang dilakukan PSIS pada saat itu, namun manajemen tetap mendatangkan sejumlah pemain anyar.
Paling menyita perhatian tentunya kedatangan Gustavo Hernan Ortiz dan Greg Nwokolo. Ortiz yang didatangkan dari PSPS Pekanbaru, diharapkan mampu membuat produktivitas De Porras meningkat, karena Ortiz dan De Porras sama-sama pernah berduet di Persija Jakarta.
Selain itu, dari jajaran pemain lokal yang paling menyita perhatian tentunya kehadiran tiga mantan pemain Persib Bandung Suwita Patha, Yaris Riyadi, dan Imral Usman. Ketiga mantan penggawa Maung Bandung itu saling bahu membahu bersama pemain lokal PSIS lainnya seperti Maman Abudurrahman, Indrianto Nugroho, Harry Salisbury, Muhammad Ridwan, hingga Khusnul Yakin.
Komposisi skuat PSIS kala itu bisa dibilang sangat ideal untuk mendongkrak prestasi yang jauh lebih baik pada musim sebelumnya. PSIS pun kembali menapak ke babak delapan besar setelah menempati posisi tiga di klasemen akhir wilayah Barat.
Perjalanan mereka di babak delapan besar juga terbilang mulus, hingga sampai PSIS di babak final. Namun dewi fortuna tampaknya belum berpihak kepada PSIS Semarang. Mereka kalah atas Persik Kediri dengan skor 0-1.
Semenjak itu, prestasi PSIS Semarang terus mengalami penurunan, hingga akhirnya terdegradasi.
Nah, akankah nasib serupa terjadi di musim ini? Mudah-mudahan saja tidak. Semua, terutama suporter sejati mereka SneX dan Panser Biru berharap PSIS Semarang bisa mewujudkan mimpinya untuk bertahan di kasta tertinggi liga Indonesia dan bukan hanya sekadar numpang lewat.