chatwithamelia.xyz - Pebulu tangkis legendaris Indonesia, Taufik Hidayat, dikenal sebagai sosok yang kritis terhadap sejumlah kebijakan yang menyangkut dunia tepok bulu.
Salah satu kritik terbaru yang disampaikan Taufik Hidayat terjadi ketika tim Indonesia sukses meraih gelar juara Thomas Cup 2020 yang berlangsung di Denmark.
Sayangnya, gelar pertama yang diraih Indonesia selama 19 tahun terakhir ini menyisakan sejumlah fakta yang pedih.
Baca Juga: Profil Zainudin Amali,Menpora yang Disorot karena Tak Kenal Fajar/Rian
Sebab, pada momen yang sangat spesial ini, Indonesia tak bisa mengibarkan bendera merah putih karena mendapatkan sanksi dari Badan Antidoping Dunia (WADA).
Sanksi ini dijatuhkan pada 7 Oktober 2021 karena Indonesia dinilai tak menegakkan standar antidoping pada tahun 2020.
“Selamat Piala Thomas kembali ke Indonesia. Terima kasih atas kerja kerasnya tim bulu tangkis Indonesia,” tulis Taufik Hidayat melalui akun Instagram-nya.
Baca Juga: Deretan Insiden Perkelahian di Liga 1, Pacheco vs Wawan, Robert vs Sumardji
“Namun, ada yang aneh karena bendera merah putih tidak ada. Bendera itu justru diganti dengan bendera PBSI,” lanjutnya.
“Ada apa dengan LADI Dan pemerintah kita, khususnya Menpora, KONI, dan KOI? Kerjamu selama ini ngapain aja? Bikin malu negara Indonesia aja,” ia menambahkan.
Berikut chatwithamelia.xyz menyajikan profil Taufik Hidayat, legenda bulu tangkis Indonesia yang terkenal kritis.
Baca Juga: Klarifikasi Menpora soal Pernyataan Fajar/Rian yang Tak Dikenal Publik
Taufik Hidayat merupakan salah satu pebulu tangkis legendaris asal Indonesia. Berbagai gelar juara pernah diraih oleh lelaki kelahiran Bandung, Jawa Barat ini.
Ketika masih berusia remaja, Taufik Hidayat mulai belajar bulu tangkis bersama klub SGS Elektrik yang bermarkas di Bandung. Saat itu, dia berada di bawah arahan Iie Sumirat.
Pelatihnya tersebut merupakan sosok yang berhasil mengantarkan Indonesia meraih dua gelar Piala Thomas, yakni pada edisi 1976 di Jakarta dan edisi 1976 di Bangkok.
Saat masih berusia 17 tahun, Taufik sukses memenangi Brunei Open dan mencapai partai semifinal Indonesia Open 1998 dan Kejuaraan Asia 1998.
Setahun berselang, yakni tepatnya pada 1999, Taufik berhasil menjuarai gelar pertamanya pada ajang Indonesia Open.
Pada tahun yang sama pula, dia sukses melaju hingga partai final All England dan Singapore Open. Sayangnya, pada partai punca iut, dia tumbang dari Peter Gade (Denmark) dan seniornya, Heryanto Arbi.
Salah satu pencapaian terbesar Taufik ialah meraih peringkat pertama tunggal putra dunia saat masih berusia 19 tahun. Momen itu tepatnya terjadi pada tahun 2000.
Sebab, dia sukses meraih sejumlah gelar juara, yakni Malaysia Open, Kejuaraan Asia, Indonesia Open, dan meraih runner-up pada All England.
Di ajang Thomas Cup, Taufiq juga memiliki andil luar biasa ketika tim Indonesia meraih dua kali gelar juara, yakni pada edisi 2000 di Kuala Lumpur dan edisi 2002 di Guangzhou.
Salah satu puncak dari karier Taufik Hidayat terjadi pada tahun 2004, ketika ia sukses mempersembahkan medali emas Olimpiade Athena 2004.
Saat itu, langkahnya sangat pasti hingga partai final, sampai akhirnya menumbangkan wakil Korea Selatan, Shon Seung-mo lewat dua set secara langsung, yakni 15-8 dan 15-7.
Sebagai salah satu tunggal putra terbaik pada zamannya, Taufik terkenal dengan kemampuan backhand-nya yang luar biasa.