chatwithamelia.xyz - Kota Limbe di Afrika menjadi salah satu lokasi tuan rumah Piala Afrika. Sekilas tak ada yang salah karena saat menjadi tuan rumah, sejumlah kota yang punya stadion sepak bola akan didapuk menjadi venue.
Tapi tahukah Anda bahwa situasi di kota Limbe tidak kondusif. Pemicunya adalah perang sipil.
Sejarah Limbe Terjadi Perang Sipil
Baca Juga: Prediksi Susunan Pemain Barcelona vs Real Madrid di Piala Super Spanyol
Setiap penyelenggaraan Piala Afrika, masalah keamanan kerap menjadi sorotan. Pasalnya, banyak gerakan perlawanan yang masih aktif di Afrika, termasuk di Kamerun, dan Limbe yang masuk di dalam kawasan tersebut.
Limbe, seperti narasi di atas, berada dalam situasi perang sipil. Kondisi ini sudah bertahan selama 50 tahun lamanya.
Pemicunya cukup pelik. Limbe jadi satu-satunya kawasan yang penduduknya menggunakan bahasa Inggris saat bertutur dalam bahasa sehari-hari. Di satu sisi, kawasan lainnya, masyarakat Afrika menggunakan bahasa Perancis.
Baca Juga: Kisah Bos Toronto FC, Rekrut Lorenzo Inisgne Gara-gara Lihat Transfermarkt
Merujuk sejarah, Kamerun adalah negara bekas jajahan Inggris dan Perancis. Warisan kolonial kelam itu ternyata masih meninggalkan perpecahan diantara suku-suku di Limbe.
Selama beberapa dekade setelah kemerdekaan Kamerun, Anglophones (penutur berbahasa Inggris) mengeluh karena merasa terpinggirkan. Mereka bersikap demikian karena kekuatan politik dan ekonomi terkonsentrasi di tangan warga mayoritas berbahasa Prancis (Francophones).
Pada 2016 pengacara dan guru dari kelompok Anglophones memimpin gerakan demonstrasi. Banyak yang ditangkap dan dalam beberapa bulan setelah insiden tersebut, wilayah itu berperang.
Baca Juga: Profil FK Sloga Doboj, Klub Bosnia yang Kabarnya Ingin Rekrut Todd Ferre
Tidak ada yang tahu persis berapa banyak orang yang tewas, meski kelompok separatis dan tentara sama-sama dituduh melakukan kekejaman dan pelanggaran HAM. Dalam narasi dari kuping ke kuping, lebih dari satu juta orang telah dipaksa meninggalkan rumah mereka, mengungsi ke negara-negara tetangga.
Sejak kejadian itu, Limbe berubah menjadi apa yang dikenal sebagai kota hantu. Pasalnya, ancaman kelompok separatis untuk menyerang siapa saja yang pergi bekerja atau bersekolah, yang mereka anggap sebagai simbol pemerintah pusat.
Dalam suatu kesempatan, sebuah kelompok yang mengatasnamakan Ambazonia mengancam akan menyerang stadion di hari pertandingan. Dalam orasi yang disampaikan, mereka telah memasang sejumlah bahan peledak (IED) di Limbe Omnisport Stadium jika pertandingan Piala Afrika tetap digelar di daerah itu.
Baca Juga: Digaji Besar di China, Alasan Shin Tae-yong Terima Tawaran Timnas Indonesia
Guna mengantisipasinya gejolak, pemerintah pusat mengerahkan ribuan personel militer dan polisi untuk mengamankan Limbe dan stadion sepakbola berkapasitas 20.000 penonton yang dibangun pada 2012 dan diresmikan pada 26 Januari 2016.
Kejadian ini adalah salah satu dari sedikit stadion di dunia yang dibangun di atas bukit dan memiliki pemandangan laut yang menakjubkan. Pada November 2016, stadion ini menjadi tuan rumah pertandingan sepakbola wanita sebagai bagian dari turnamen internasional pertamanya.
Kembali ke masa sekarang, Limbe akan menyelenggarakan pertandingan Grup F yang berisi Mali, Tunisia, Mauritania, dan Gambia, serta satu pertandingan Grup E antara Sierra Leone dengan Guinea Khatulistiwa. Limbe juga akan menyelenggarakan dua pertandingan babak 16 besar Piala Afrika.
"Kami sangat senang bagi warga Kamerun. Kami akan senang menyambut orang-orang dari negara lain untuk turnamen hebat ini," kata Erik, salah satu penjaga gawang di klub lokal Limbe, dikutip dari laman BBC Sport.
Erik sejatinya juga menantikan event Piala Afrika. Sebab, pemain-pemain bintang Liga Premier seperti Mohamed Salah dari Mesir dan Sadio Mane dari Senegal akan unjuk aksi di ajang ini.
Namun apa boleh bikin, kemungkinan dia hanya bisa menonton bintang-bintang itu hanya dari layar televisi.
"Mungkin saya bisa berbicara dengan mereka, menyapa mereka. Saya akan sangat senang," ucap Erik.